Pada suatu siang
di hari Jumat menjelang waktu istirahat dengan lokasi di ruang kerja kami dan didukung
alasan beban kerja yang sedang tidak banyak, terjadilah obrolan ini:
“Eh, Pete,
cewekmu anak mana?” entah kesambet apa Mas Gun, rekan kerja gue tiba-tiba kepo.
“Mana itu
maksudnya dari mana apa kerja dimana?” jawab gue mencoba menghindar untuk
menjawab pertanyaannya.
“Ya dari mana?”
“Dari Salatiga.”
“Lah kok jauh
amat. Gimana bisa kenal?” kekepoan Mas Gun rupanya masih berlanjut. Kenapa juga
ini orang pakai sok heran segala. Sekarang ini sudah jamannya teknologi.
Mobilitas dan komunikasi sudah gampang. Sudah bisa mengeliminasi jarak.
“Ya kenal dong
Mas, kan teman kuliah.” Terima kasih untuk Nisa yang ikut membantu menjawab.
“Oh, teman kuliah.
Orang keuangan juga dong. Di bagian apa dia?” ini pertanyaan sudah kayak
Nusantara saja, sambung-menyambung.
“Sekretariat
Mas.” jawab gue singkat.
“Terus nunggu
apa lagi ini?”
“Eh?” skakmat. Gue
bingung mau jawab apa. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang paling tidak ingin
gue dengar saat ini. Singkat cerita, pertanyaan demi pertanyaan masih
dilontarkan oleh Mas Gun, tapi gue jawab sekenanya saja sambil dibawa bercanda.
Kenapa juga yang kayak begini dibahas. Ini kan privasi gue.
Apes banget gue
hari itu. Rupanya sore hari menjelang jam pulang kantor, pertanyaan yang
intinya “Kapan lo nikah, Pete?” masih dibahas lebih lanjut. Waktu itu gue
sedang sibuk membuat bagan alir untuk SOP (Standard
Operating Procedure) baru kantor gue. Sambil duduk di sofa di belakang meja
kerja gue, tiba-tiba Mas Oki bertanya, “Eh Jok, umur lo berapa sekarang?” Iya,
gue dipanggil Jok, singkatan dari Jokowi, nama Presiden kita saat ini.
Ceritanya waktu kami mengadakan Rapat Koordinasi (rakor) dan sedang mengurus
penginapan peserta, gue sedang terlibat pembicaraan dengan resepsionis hotel.
Kemudian (masih di depan meja resepsionis) gue ngobrol sama Riski dan Pak Andi,
rekan kerja gue juga, terkait akomodasi peserta. Tiba-tiba mbak resepsionis
tadi nyeletuk begini, “Bapak ini suaranya mirip Bapak Jokowi banget ya.” Yang
kemudian ditimpali sama si Riski, “Loh Mbak gak lihat? Ini kan mukanya juga
mirip banget sama Pak Jokowi Mbak.” Sejak saat itulah gue selalu dipanggil
“Jok” oleh nyaris semua rekan seruangan gue.
“Fiuh…
nanya-nanya umur. Gue tahu ini arah pertanyaannya bakal kemana.” jawab gue.
“Lo kok negative thinking gitu sih sama gue
Jok.” Hahaha… lucu juga ini mimik muka Mas Oki kalau lagi merajuk.
“Dua enam dia
Mas.” Lagi-lagi Nisa membantu menjawab.
“Wah, sudah
waktunya dong Jok.”
“Iya tuh Jokowi,
sudah ada calonnya juga. Nunggu apa lagi.” Mas Gun ikut mengompori lagi.
“Jok, dulu itu
gue nikah juga umur dua enam loh.”
“Kalau kelamaan,
nanti kasihan anak lo juga. Masih kecil-kecil tapi bapaknya sudah nggak kuat
gendong.”
“Yaelah Mas, ini
gue kan masih bisa juga nikah di usia dua enam. Baru juga masuk dua enam. Lagi
pula Mas Gun dulu kan nikah juga umur dua tujuh. Dan catet ya, gue rajin
olahraga kali, masa gue gak kuat gendong anak kecil.” Kali ini jawaban gue
panjang lebar. Berharap pertanyaan mereka berhenti sampai di situ.
“Eh suami gue,
dua enam udah punya anak loh Jok.” Hellooo… Nisa kok ikut-ikutan juga sih.
“Lo-nya nggak
apa-apa umur dua enam. Pikirin cewek lo jugalah! Kalian kan seumuran.” Obrolan
yang mendorong (lebih tepatnya menyudutkan) gue untuk segera menikah ini masih
berlanjut hingga jam pulang kerja.
Gue sebenarnya
heran, kenapa orang-orang selalu ribut mempertanyakan kapan nikah saat melihat
anak-anak muda seusia gue. Mungkin mereka perhatian kepada kami. Tapi apa iya
nikah adalah pilihan terbaik di usia segini. Setiap orang pasti punya pandangan
masing-masing kan. Mungkin mereka berkeinginan untuk berkarir dahulu,
melanjutkan kuliah dahulu, membangun bisnis dahulu, menabung dahulu atau bahkan
menyekolahkan adik-adiknya dulu. Prioritas semua orang seusia gue tidak mungkin
sama. Yang pasti untuk orang-orang yang “normal” pasti sudah melingkari tahun dimana mereka akan menikah dalam agenda masing-masing.
Mau tidak mau
obrolan yang sebenarnya asyik tadi (iya asyik, karena obrolan itu membuat
interaksi sosial kami hidup. Kami bekerja tidak sekedar membangun relasi dengan
komputer tetapi juga ikatan emosional dengan rekan kerja) membuat gue berpikir.
Gue berpikir apa lagi yang gue tunggu? Gue sudah siap tapi kenapa sampai saat
ini gue belum melamarnya? Apa gue belum yakin sama dia? Bukan, mutlak bukan itu
alasannya. Gue sudah yakin ketika gue tahu gue jatuh cinta sama dia. Apa gue
belum siap secara materi? Iya bisa jadi itu salah satu alasannya. Tapi gue rasa
alasan itu saja tidak cukup kuat buat menahan gue untuk segera menikah. Hahaha…
kesannya gue udah kebelet banget ya. Siapa yang tidak coba? Beberapa bulan lalu
gue mendampingi teman gue yang mukanya stress berat mempersiapkan
pernikahannya. Tapi setelah menikah, gue lihat mukanya berubah menjadi muka
orang yang paling bahagia di dunia ini.
Malam ini gue
sadar kenapa. Menikah itu bukan perkara membalikkan telapak tangan. Banyak yang
harus dipertimbangkan. Banyak yang harus dipersiapkan. Ini bukan masalah lebih
cepat lebih baik. Ini keputusan sekali seumur hidup. Jadi sebaliknya, lebih
lama lebih baik. Lebih lama yang dimaksud adalah pernikahan yang dijalani
nantinya bisa bertahan bahkan bukan hanya sekedar lebih lama tetapi selamanya.
David Mathis, editor buku Preparing for Marriage mencatat, “Pernikahan itu
perkara besar. Apa yang sedang kamu pertimbangkan atau persiapkan ini bukan hal
sepele. Jangan pikir, kamu bisa begitu saja menambahkan pernikahan sebagai
lapisan baru atas hidupmu yang sudah sibuk itu. Pernikahan menuntut awal baru
yang sepenuhnya. Mengevaluasi kembali komitmenmu, cek prioritasmu, memikirkan
kembali kondisi normalmu.” Dan saat ini hal-hal itulah yang sedang gue lakukan.