Selasa, 15 Desember 2015

The Perks of Being Secretary Series (sneak preview)



Sekretaris. Apa yang kalian pikirkan ketika mendengar kata ini? Cantik. Fashionable. High Heel. Seksi. Bibir merah merona. Simpanan bos-bos? Hah? Hahaha... begitu kali ya pikiran cowok-cowok pada umumnya. Sekretaris woi, Bukan NM. Ups. Kalau pikiran cewek bagaimana ya? This one, I have no idea at all. Tapi buat cowok-cowok sayang sekali harus kecewa. Sekretaris yang bakal gue ceritain disini tak lain dan tak bukan adalah sosok yang sangat berbeda dari ciri-ciri yang gue sebut di atas. Ganteng. Tinggi. Kurus tapi cukup berotot. Fashionable iya but high heel? absolutely no. Siapa sih? Gue sendiri. What? Najis.

The point is not those things. Hari gini masih bawa-bawa fisik? Zaman sekarang itu yang dicari otak bukan fisik. Siapa bilang? At some points I totally agree that physical doesn't matter. Maksud gue, jangan jadikan keterbatasan fisik sebagai penghalang untuk kita menggapai cita-cita. Untuk kita melakukan hal-hal besar. But, for some jobs like secretary physical is important. It is at the top of requirements list. Nggak perlu panjang lebar sih, inti yang mau gue sampaikan disini adalah akui saja kalau gue itu physically great looking sehingga gue sekarang jadi sekretaris #kemudian_kabur.

Nope. I am still here. Nggak kabur kemana-mana. Untuk kalian yang masih mikir, beneran gue jadi sekretaris? Sekretaris apaan? Ini gue mau jelasin. About a month ago. Lirik kalender. Astaga cepat sekali sudah sebulan lebih gue jadi sekretaris. Yeah, about a month ago, ada mutasi besar-besaran di organisasi tempat gue mengabdi. Some people got lucky. Akhirnya setelah bertahun-tahun menanti, mereka di mutasi juga ke kampung halaman. Some people got promotion. Meskipun mereka harus mutasi ke daerah terpencil dan jauh dari kampung halaman, tetapi begitulah bentuk pengabdian kami di organisasi ini (lebih tepatnya bagi negeri ini).

To be continued...

Jumat, 02 Oktober 2015

Orang Pintar Bisa Banget Jadi Bego


Orang pintar yang gue maksud disini bukan paranormal. Bukan juga orang yang minum Tolak Angin. Jadi, ini cerita tentang gue. What? Gue orang pintarnya? Hahaha.. iya dong, sudah dua kali gue dapat kuliah gratis masa nggak pede mengaku pintar.

Kali ini gue melakukan kebegoan. Nyatanya, bukan kali ini saja, tapi sering. Tapi kali yang ini kebegoan itu pake banget. Demi apa coba tengah malam begini gue belum ngorok? Oh salah, gue kalau tidur nggak ngorok. Apa lagi kalau bukan demi menceritakan kebegoan gue. 

Pukul 21.31 teman gue (sebut saja Kumbang) memberi tahu bahwa ada promo Air Asia (sudah dua kali ya gue menyebut merk, #NgarepDiangkatJadiBrandAmbassador). Kebetulan gue lagi ada keperluan untuk… Wait? Jangan pindah tab ke web Air Asia! Baiklah, silakan pindah tapi jangan lupa melanjutkan baca cerita ini!

Waktu itu juga gue memutuskan untuk membeli tiket itu. Informasi tujuan dan waktu keberangkatan mungkin akan gue ceritakan next time. Namanya juga tiket promo, jadi modal gue pas-pasan banget dong. Bahkan untuk pesan tiketnya saja, gue minta bantuan si kumbang. Maklumlah fakir kuota internet. Ups.. jangan disumpahin dong! Gue nggak mau jadi fakir beneran. 

"Jadi, mau bayar pake apa ini?" pertanyaan si Kumbang mulai bener nih, setelah sebelumnya ngepoin tanggal lahir gue. Semoga sih niatnya untuk memberi kado pas hari H, bukan untuk ngeledekin umur sekian tapi belum... ah sudahlah.

"Pake cc gue aja." Eciyee gaul bet pake cc. Gaul moyang lo, yang ada biar bisa ngutang dulu.

"Eh tapi pake cc chargenya 54 ribu bro. Mendingan ATM aja 10 ribu doang." Saran Kumbang boleh juga. Dasar gue. Perhitungan banget.

"Booked. Udah dapet email?"

"Udah bro. Thank you ya." Gue langsung mengecek ulang detail pesanan. Cocok. Masih ada waktu dua jam untuk menyelesaikan pembayaran. Artinya gue masih sempat mengajak teman gue pergi kesana. Sebut aja Macan, dia langsung oke ketika gue ajak. Agak heran dengan jawabannya, tapi gue seneng banget dapat teman kesana. Gue memesankan tiket yang sama buat si macan. Iya, gue yang memesankan sebagai bentuk pelayanan prima kepada orang yang mau menemani gue kesana. Gue bela-belain pesan via browser ponsel karena internet si kumbang lagi down. 

Kemudian gue membuka internet banking untuk menyelesaikan pembayaran. BRI aja, biar saldo di Mandiri gue bisa buat transaksi bulan ini. Eh gue sebut merk lagi, #NgarepDiangkatJadiBrandAmbassador #Teteup. Kaya banget ya gue, ada cc, debit BRI dan debit Mandiri. If only you know berapa saldonya. Masih banyak, baru juga tanggal 1 hahaha...

"Ini kenapa kok nggak ada pilihan Air Asia di menu pembayaran tiket? Ah mungkin BRI memang tidak melayani ini." gue mikir dalam hati. Dalam hati? dalam otak kali? Halah nggak usah heran, orang mikir pake dengkul saja ada kok. Oke, gue menyerah. Gue buka internet banking Mandiri gue saja. Hasilnya? sama. 

Gue langsung WhatsApp (catat ya, ini merk kelima yang gue sebut #NgarepDiangkatJadiBrandAmbassador) si Kumbang. "Bro, kok nggak bisa sih bayar pake inet banking?" tanya gue.

"Menurut ngana? namanya juga bayar via ATM. Lo ke ATM dong bro!" jawabnya.

"Ya kali tengah malam begini? Duh ribet banget sih demi berhemat 44 ribu saja."

"Lumayan 44 ribu buat sekali makan di sana."

"Apaan, orang gue mau bawa bekal kesana. Hemat bro."

"Udah, sono gih ke ATM! Sebelum telat."

Gue pun memutuskan ke ATM. ATM sebelah mana coba yang masih buka dan paling dekat dengan kos gue. Indomaret kayaknya masih buka. Indomaret #SebutMerekLagi. Gue ke Indomaret. Benar saja, pintunya masih terbuka sedikit.

"Misi Mas, udah tutup ya?" tanya gue ke kasirnya.

"Udah Mas." 

"Kalau numpang ke ATM boleh?"

"Oh iya Mas, silakan!"

First try, BRI. Eh nggak jadi Mandiri saja. BRI biasanya banyak chargenya. Lagi-lagi itung-itungan gue masih lancar meskipun waktu sudah menunjukkan Pukul 23.26. Mandiri done. Hasilnya masih gagal. Gue pindah ke BRI. Beruntung banget ya ada dua mesin ATM di sini. Tapi sayang, hasilnya tidak seberuntung itu bro. BRI pun gagal. 

Dasar gue keras kepala dan mikir mustahil banget ini dua bank besar tidak melayani pembayaran Air Asia, gue googling (did I mention another brand?) dong. Yap, and this is it. Ternyata pembayaran memang tidak dilakukan melalui menu "Pembayaran Tiket" tetapi menu "Transfer Antarbank". Begonya gue. Selesai. Gue bayar melalui menu itu dan berhasil. 

"Eh Can, gue udah bayar. Ternyata bayarnya di menu 'Transfer Antarbank' bukan 'Pembayaran Tiket'. Gue hampir setengah jam pencetin ATM dan masih nggak bisa. Tahu gitu kan gue bisa pake internet banking. Nasibbbbb." gue nyerocos aja ke Macan saking sebelnya.

"Lah emang iya. Itu tadi screenshot email booking confirmation yang gue kirim nggak lo baca?"

Gue langsung nyari screenshot yang dimaksud. Yap, ada petunjuk pembayarannya di situ. "Huft, dasar Peter bego!"

Rabu, 23 September 2015

About Bromance


Apa sih bromance? Istilah baru ini sering gue dengar, tapi gue belum paham betul definisinya. Awalnya sih gue kira artinya hubungan romantis antara dua cowok. Semacam hubungan pada pasangan gay. Tapi ternyata bukan. Menurut Oxford Dictionaries online, bromance artinya a close but non-sexual relationship between two men.

Kenapa ada istilah bromance tapi nggak ada istilah semacam sistaromance? Karena persahabatan antarcewek itu tidak romantis. Sebaliknya, persahabatan mereka itu cenderung pelik dengan tensi tinggi. Cewek-cewek yang tidak sependapat silakan protes ke gue. Meskipun mungkin saja ada pengecualian tapi begitulah generalisasinya.

Persahabatan cowok itu aneh. Terlihat simpel tapi sesungguhnya sangat dalam, Ketika lo (kalian yang laki-laki) ditanya oleh Ibu lo, "Mau kemana Kak?" seringkali lo menjawab, "Just hang out with the guys Mom."  The guys yang lo maksud di sini bukanlah sekedar orang-orang yang nongkrong bareng lo, tapi mereka adalah orang-orang yang berada di lingkaran persahabatan lo. Mereka orang-orang penting dalam hidup lo. Itulah yang gue maksud dengan terlihat simpel tapi sesungguhnya sangat dalam.






Seorang sahabat tentu tidak selalu bisa berada di dekat sahabatnya. Jarak bisa membatasi fisik tetapi ikatan yang kuat membuat mereka selalu dekat. Lagi pula sekarang sudah banyak sarana yang memudahkan komunikasi. WhatsApp misalnya. Tampilan di atas adalah screenshot percakapan gue dengan sohib gue via WhatsApp beberapa hari lalu. Percakapan yang dimulai pukul 22.30 itu berakhir pada Pukul 00.01. Satu jam di awal berisi percakapan ringan yang penuh dengan gurauan. Bagi lelaki muda seperti kami (iya, kami masih muda, muda banget malah), kasih sayang (affection not romance) sering kali ditunjukkan melalui godaan atau ejekan kepada sohibnya. Setengah jam berikutnya diisi dengan berbagi pengalaman gue yang sebenarnya substansinya cukup berat untuk dicerna di tengah malam. Tapi, sohib gue butuh tahu pengalaman gue itu untuk melangkah.

Gue ingat pernah bela-belain datang ke acara tunangan salah satu sohib gue ketika lebaran. Lebaran adalah momen dimana seluruh keluarga gue berkumpul. Mereka yang tinggal di luar kota, luar provinsi bahkan luar pulau pasti menyempatkan diri untuk berkumpul dan sungkem di rumah nenek kami. Tapi gue? malah minggat ke luar provinsi demi itu. Pertama, itu cuma pertunangan. Kedua, gue bukan bagian dari keluarga sohib gue. Gue juga ingat, demi hadir ke pernikahan sohib gue yang gue datangi juga acara tunangannya, gue harus izin untuk mangkir dari acara kantor. Ini bukan gue nggak ikhlas ya. Tapi begitulah, ada kalanya sahabat lebih diutamakan dibanding keluarga maupun pekerjaan.


Kamis, 17 September 2015

About Letting It Go


Hai.. malam ini aku susah tidur lagi. Aku mencoba menonton serial, 7 episode kuselesaikan mulai jam 6 petang hingga tengah malam ini. Salah satu episodenya mengingatkanku akan suatu ilustrasi. Ilustrasi yg ketika pertama kali mendengarnya, aku sempat menitikkan air mata.

Seorang anak kecil, mungkin usianya 5 tahun. Ia begitu senang ketika sore hari ayahnya sudah pulang kerja. Wajar ia senang. Memang tidak biasanya begitu. Selain itu ayahnya juga membawakannya mainan replika pesawat terbang.

Mainan itu seketika menjadi favoritnya. Ia menghabiskan sisa hari itu memainkannya. Namun sayangnya ketika matanya sudah mulai mengantuk, tidak sengaja ditabrakkannya replika pesawat itu ke dinding dan rusak. Tidak hancur parah memang tapi pecah menjadi beberapa keping.

Anak itu sedih tapi dia tetap bersemangat. Ia mencoba memperbaikinya. Sekali gagal ia tidak putus asa dan dicoba lagi. Ketika ayahnya hendak mengajaknya tidur, dilihatnya ia sedang memperbaiki mainan barunya yang rusak itu. Ayahnya menawarkan bantuan untuk memperbaikinya. Tetapi anak itu menolak. Dimintanya sang ayah untuk menunggunya di kamar. Ia berjanji akan menyusul setelah selesai memperbaiki mainan itu. Dia begitu gigih mencoba memperbaikinya lagi dan lagi. Namun sayang, ia masih belum berhasil.

Anak itu kemudian merasa sedih dan putus asa. Ia masuk ke kamar dan memohon bantuan ayahnya untuk memperbaikinya. Seketika itu juga ayahnya memperbaiki mainan itu dan berhasil. Tidak bagus benar memang seperti sore tadi. Tapi itu cukup membuat anak itu senang dan akhirnya dia tertidur nyenyak di pelukan ayahnya.

Ya, mainanku rusak saat ini. Aku punya masalah dan aku sedang mencoba memperbaikinya sendiri. Aku tahu betul apa-apa yang harus kulakukan untuk memperbaikinya. Misalnya, aku harus mengalah. Di dunia ini ada hal-hal yang bisa kukendalikan. Ada juga yang tidak. Aku harus mengalah dan berhenti mengendalikan hal-hal yang di luar kendaliku dan berjuang untuk mengendalikan hal-hal yang berada di bawah kendaliku.

Itu tidak mudah. Aku masih belum berhasil. Beberapa orang sangat egois dan menuntut banyak dariku. Aku ingin mereka berhenti dan melakukan sebaliknya. Mendukung alih-alih menuntut. Tapi aku bisa apa untuk memaksa mereka mengikuti aturanku. Yang kubisa hanyalah mengendalikan keinginanku, memahami mereka dan mengalah. Berkorban dengan ikhlas untuk mereka. Tapi ini juga sulit untuk kulakukan. Aku hanya manusia sama seperti mereka. Aku lelah. Sudah beberapa hari aku tidak bisa merasakan tidur nyenyak itu. Mungkin ini saatnya kuserahkan mainanku untuk diperbaiki Tuhanku.

Jumat, 11 September 2015

About Fear


Gue suka traveling. Everywhere. Every places. Pantai, gunung, sungai, kota megapolitan, desa, mall, pasar, mana pun. Gue tidak pernah memilih-milih destinasi traveling kecuali dibatasi budget.

Beruntung, dua minggu yang lalu gue dapat kesempatan untuk dinas ke Sibolga. Sibolga men... It would be my very fist time menginjakkan kaki di Pulau Sumatra.

Teman gue menyarankan supaya gue berangkat ke bandara pukul 7.30 pagi. Gila! udah kayak jam ngantor aja, padahal pesawat gue baru akan take off pukul 11.00. Katanya, "Maklum aja hari senin Jakarta macet bro." Gue pun berkompromi untuk menggeser jadwal keberangkatan gue setengah jam lebih awal menjadi pukul 08.00.

Guess what? pukul 08.30 tepat gue sudah tiba di bandara. Dua setengah jam gue mau ngapain? Mati gaya? Nope. Gue udah siapin Critical Eleven masih rapi disampul plastik. Gue pun nyari tempat duduk kosong di sebuah kedai fast food. Tidak perlu cozy for saving a couple of bucks purpose. Yang penting gue bisa duduk dan baca.

Sejam kemudian, pantat gue udah kepanasan. Makanan gue udah habis. Buku baru terbaca puluhan halaman. Di seberang tempat duduk gue ternyata ada Mas Rama, rekan gue yang juga bakal berangkat ke Sibolga. Gue pun menggeser pantat gue ke tempat duduk kosong di mejanya.

Sekitar setengah jam kami habiskan untuk mendiskusikan alternatif solusi atas permasalahan di Sibolga. Sampai jam tangan gue menunjukkan pukul 10.30. "Another half hour remaining," kata gue sambil kabur sebentar untuk setor ke toilet. Dari dalam toilet samar-samar gue mendengar pengumuman, "Mohon perhatian, penumpang pesawat bla bla bla dengan nomor penerbangan xx262 tujuan Pinangsori mengalami keterlambatan dan bla bla bla."

"Is that my plane? Nomor penerbangannya sih sepertinya iya, but where on earth is Pinangsori?"

Saat gue balik, Mas Rama tersenyum sambil berkata, "Our another half our is now tripled."

"Yeah, what can we do except accepting that."

Paling tidak gue excited, setelah dapat informasi dari Mas Rama bahwa pesawat yang akan kami tumpangi bukanlah Boeing atau Airbus tapi Bombardier. It was like two years since last time I am on it. Gue suka naik Bombardier. Tanpa tahu alasannya. Gue rasa karena pesawatnya seksi. It is slim but long. Jangan membandingkan keseksian pesawat ini dengan salah satu organ tubuh manusia ya. Itu tidak akan apple to apple, yang ada kalian bakalan berpikiran ngeres.

Tiba di Pinangsori sudah sore. Butuh waktu satu jam dari bandara menuju Kota Sibolga, tapi tidak sore ini. Hujan turun dengan lebatnya menyambut kedatangan kami. Jadi, durasi perjalanan akan digandakan. Paling tidak kami masih sempat mampir di warung pinggir jalan yang sekaligus pinggir pantai. Pemandangan pantai yang redup tapi indah dan seekor kepiting besar yang lezat sudah cukup untuk membuatku jatuh cinta pada kota ini.

Falling in love to new places is so easy for me, unfortunately not to a girl. But when I do, I fall deeply. Demi apa gue tiba-tiba teringat cewek gue, yang artinya juga teringat ketakutan gue.

Being loved means that you are given a responsibility to protect the heart of the person who loves you. When I fell in love with this girl, I know It will be different. I was ready to love her with all my heart. In the beginning of our relationship, I was sure that my love for her is bigger that hers to me. Now, as the time goes by, I can feel that she's falling deeper and deeper and her love is growing bigger and bigger. I am terrified that someday her love to me is greater that mine to her. I don't know to let go of my fear.

About Sadness


Hi, I'm Peter. I wanna share a story about sadness. Last night (actually it was weeks ago, I was unable to finish this story fast) I was on a date with my girlfriend. It's been a week since last we met. Works made us can't see each other, I am just glad we can have a date again. But, that's not the point I wanna share. We watched a movie. The title is Inside Out. We've been waiting for this movie to be released here, in Indonesia for two months. It's a great movie. There's no wasted time waiting for it. Actually this movie is the thing I wanna share.

[Warning: contains spoiler]
There are five characters in this movie who are emotions inside the headquarters of conscious mind of a lil girl, named Riley. They are joy, sadness, fear, disgust and anger. Joy is the one who takes most control of Riley's mind along her childhood. So, Riley's core memories are full of happiness. Those create a happy and cheerful character of Riley.

Then suddenly everything's changes when Riley moves to San Francisco after her father gets a new job. She faced a new life which is totally different from her old one. Led by Joy, her emotions try to keep things positive. Joy wants Riley to be happy so she becomes concerned when Sadness begins turning the happy memories to sad. However, on Riley's first day at her new school, Sadness accidentally causes Riley to cry in front of her class. That creates a new core memory that is sad. Joy attempts to dispose that new memory but accidentally that attempt causes Joy and Sadness sucked out of headquarters. They end up in the area of Riley's long-term memories. 

With the absence of Joy and Sadness, Fear, Disgust and Anger attempt to maintain Riley's emotional state. But instead, They make things become more complicated. What they do distance Riley from her parents, friends and hobbies. Then Anger inserts an idea to run away to Minnesota into Riley's mind, believing they can produce a new happy memories there. 

Meanwhile, Joy is trying to get back to headquarters to help Riley. Joy attempts to use a recall tube to return to headquarters it break and sending Joy into the memory dump. While despairingly looking through old memories, Joy discovers a sad memory that becomes happy when her parents and friends come to comfort her, causing her to realize Sadness's true importance: alerting others when Riley needs help.

That story happens to me and maybe to all of us. Usually when we faced a big problem, we run away or try to be cool and face it like a winner. We keep the sadness inside instead of letting it out. Which one is the right thing to do? I don't know. I am no psychologist. But I do know a story.

The story is about Joseph. Joseph had eleven brothers who hated him because his father loved him more than his brothers. He had a dream. When he told his brothers about it, they hated him even more because it was about him who will rule over them.

Then, his brothers sold him to to the Ishmaelites who took him to Egypt. Then the seven years of famine began. There was famine in all the other lands, but throughout the land of Egypt there was food. So, Joseph's brothers when down to buy grain from Egypt. When Joseph met his brothers, he was no longer able to control himself, so he cried out. He wept loudly.

Joseph was honest about him being hurt by his brothers. His honesty and willingness to let his emotion out enable him to forgive his brothers. So, it's about honesty then. Being honest about what we feel will bring joy in the end. 

Conquer Your Fear First Then You Can Fly!


Gue kangen ketika dia dengan muka serius bertanya ke gue, “Pete, lo sehat?” Padahal dalam hati dia bilang, “Kumat stress lo, Pete?” yang kemudian setelah gue melirik ke arahnya, kami akan tertawa bersama-sama.

Pertanyaan itu selalu dilontarkannya saat dia menyadari gue mulai melakukan hal-hal konyol lagi. Ketika sesuatu mulai mengganggu pikiran gue hingga gue tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk mengusir sesuatu itu dari otak gue, gue selalu melakukan hal-hal yang sebenarnya bukan gue banget. Gue menyanyikan lagu rock sambil teriak-teriak misalnya.

Malam ini gue butuh dia menanyakan pertanyaan itu lagi. Hanya saja dia tidak bisa. Dia seorang sahabat yang biasanya ada buat gue terutama di saat gue sedang butuh dukungannya. Tapi dia tidak pernah memaksa gue untuk bergantung padanya. Masalah gue tetap masalah gue dan gue tetap orang yang harus menyelesaikannya sendiri, tanpanya.

Suatu kali gue sedang sangat bersemangat karena akan melakukan paralayang untuk kali yang pertama banget dalam hidup gue, sayangnya agen paralayangnya sudah tutup saat gue sampai di puncak bukit. Gue heran di saat yang sama gue tidak merasa kecewa atau sedih. Justru gue merasa lega, karena tanpa disadari dibalik semangat gue tadi tersimpan rasa takut. Gue takut ketinggian. Gue takut memasrahkan hidup mati gue di tangan instruktur paralayang.

Meskipun keinginan untuk mencoba paralayang tidak terpenuhi, usaha gue mendaki bukit tidaklah sia-sia. Pemandangan di atas sana begitu indah dan gue tidak terganggu dengan hiruk pikuk orang-orang yang menikmatinya dengan berfoto. Sumpah, kesepian di tengah keramaian itu bego. Tapi waktu itu gue bersamanya. Dia yang membentengi gue dari kebegoan itu.

Ketika kami mulai berkemas untuk pulang, agen paralayangnya mulai beroperasi lagi. Rupanya jam operasi mereka di bagi menjadi dua sesi. Sesi pagi dan sesi sore. Tawaran itu pun datang kembali, “Kita jadi kan paralayangnya?” katanya sambil mengeluarkan kembali kamera kami.

Tiba-tiba gue deg-degan. “Iyalah, jadi,” jawab gue. “Kapan lagi ada kesempatan begini?” Tanya gue dengan nada yang mantap.

“Gue tahu lo takut.”

“Of course you do. You know me so damn well,” gue mengumpat hanya dalam hati, yang keluar dari mulut gue hanyalah, “Tapi gue juga pengin banget.” Kalian pasti tahu rasanya di saat keinginan yang sudah membuncah muncul bersamaan dengan rasa takut yang memuncak. Kasus gue kali ini. Gue selalu bersemangat mencoba hal-hal baru, tapi gue juga fobia ketinggian. Tapi ini bukan sekedar hal baru, ini terbang bro. Bukan terbang di dalam pesawat tapi benar-benar terbang.

Ketika nama gue dipanggil, keringat gue mengucur dan sebelum gue akhirnya benar-benar terbang, gue sempat mendengar dia berbisik “Conquer your fear first then you can fly! The fear is weighing you down.

Senin, 07 September 2015

Tentang Pernikahan


Pada suatu siang di hari Jumat menjelang waktu istirahat dengan lokasi di ruang kerja kami dan didukung alasan beban kerja yang sedang tidak banyak, terjadilah obrolan ini:

“Eh, Pete, cewekmu anak mana?” entah kesambet apa Mas Gun, rekan kerja gue tiba-tiba kepo.

“Mana itu maksudnya dari mana apa kerja dimana?” jawab gue mencoba menghindar untuk menjawab pertanyaannya.

“Ya dari mana?”

“Dari Salatiga.”

“Lah kok jauh amat. Gimana bisa kenal?” kekepoan Mas Gun rupanya masih berlanjut. Kenapa juga ini orang pakai sok heran segala. Sekarang ini sudah jamannya teknologi. Mobilitas dan komunikasi sudah gampang. Sudah bisa mengeliminasi jarak.

“Ya kenal dong Mas, kan teman kuliah.” Terima kasih untuk Nisa yang ikut membantu menjawab.

“Oh, teman kuliah. Orang keuangan juga dong. Di bagian apa dia?” ini pertanyaan sudah kayak Nusantara saja, sambung-menyambung.

“Sekretariat Mas.” jawab gue singkat.

“Terus nunggu apa lagi ini?”

“Eh?” skakmat. Gue bingung mau jawab apa. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang paling tidak ingin gue dengar saat ini. Singkat cerita, pertanyaan demi pertanyaan masih dilontarkan oleh Mas Gun, tapi gue jawab sekenanya saja sambil dibawa bercanda. Kenapa juga yang kayak begini dibahas. Ini kan privasi gue.

Apes banget gue hari itu. Rupanya sore hari menjelang jam pulang kantor, pertanyaan yang intinya “Kapan lo nikah, Pete?” masih dibahas lebih lanjut. Waktu itu gue sedang sibuk membuat bagan alir untuk SOP (Standard Operating Procedure) baru kantor gue. Sambil duduk di sofa di belakang meja kerja gue, tiba-tiba Mas Oki bertanya, “Eh Jok, umur lo berapa sekarang?” Iya, gue dipanggil Jok, singkatan dari Jokowi, nama Presiden kita saat ini. Ceritanya waktu kami mengadakan Rapat Koordinasi (rakor) dan sedang mengurus penginapan peserta, gue sedang terlibat pembicaraan dengan resepsionis hotel. Kemudian (masih di depan meja resepsionis) gue ngobrol sama Riski dan Pak Andi, rekan kerja gue juga, terkait akomodasi peserta. Tiba-tiba mbak resepsionis tadi nyeletuk begini, “Bapak ini suaranya mirip Bapak Jokowi banget ya.” Yang kemudian ditimpali sama si Riski, “Loh Mbak gak lihat? Ini kan mukanya juga mirip banget sama Pak Jokowi Mbak.” Sejak saat itulah gue selalu dipanggil “Jok” oleh nyaris semua rekan seruangan gue.

“Fiuh… nanya-nanya umur. Gue tahu ini arah pertanyaannya bakal kemana.” jawab gue.

“Lo kok negative thinking gitu sih sama gue Jok.” Hahaha… lucu juga ini mimik muka Mas Oki kalau lagi merajuk.

“Dua enam dia Mas.” Lagi-lagi Nisa membantu menjawab.

“Wah, sudah waktunya dong Jok.”

“Iya tuh Jokowi, sudah ada calonnya juga. Nunggu apa lagi.” Mas Gun ikut mengompori lagi.

“Jok, dulu itu gue nikah juga umur dua enam loh.”

“Kalau kelamaan, nanti kasihan anak lo juga. Masih kecil-kecil tapi bapaknya sudah nggak kuat gendong.”

“Yaelah Mas, ini gue kan masih bisa juga nikah di usia dua enam. Baru juga masuk dua enam. Lagi pula Mas Gun dulu kan nikah juga umur dua tujuh. Dan catet ya, gue rajin olahraga kali, masa gue gak kuat gendong anak kecil.” Kali ini jawaban gue panjang lebar. Berharap pertanyaan mereka berhenti sampai di situ.

“Eh suami gue, dua enam udah punya anak loh Jok.” Hellooo… Nisa kok ikut-ikutan juga sih.

“Lo-nya nggak apa-apa umur dua enam. Pikirin cewek lo jugalah! Kalian kan seumuran.” Obrolan yang mendorong (lebih tepatnya menyudutkan) gue untuk segera menikah ini masih berlanjut hingga jam pulang kerja.

Gue sebenarnya heran, kenapa orang-orang selalu ribut mempertanyakan kapan nikah saat melihat anak-anak muda seusia gue. Mungkin mereka perhatian kepada kami. Tapi apa iya nikah adalah pilihan terbaik di usia segini. Setiap orang pasti punya pandangan masing-masing kan. Mungkin mereka berkeinginan untuk berkarir dahulu, melanjutkan kuliah dahulu, membangun bisnis dahulu, menabung dahulu atau bahkan menyekolahkan adik-adiknya dulu. Prioritas semua orang seusia gue tidak mungkin sama. Yang pasti untuk orang-orang yang “normal” pasti sudah melingkari tahun dimana mereka akan menikah dalam agenda masing-masing.

Mau tidak mau obrolan yang sebenarnya asyik tadi (iya asyik, karena obrolan itu membuat interaksi sosial kami hidup. Kami bekerja tidak sekedar membangun relasi dengan komputer tetapi juga ikatan emosional dengan rekan kerja) membuat gue berpikir. Gue berpikir apa lagi yang gue tunggu? Gue sudah siap tapi kenapa sampai saat ini gue belum melamarnya? Apa gue belum yakin sama dia? Bukan, mutlak bukan itu alasannya. Gue sudah yakin ketika gue tahu gue jatuh cinta sama dia. Apa gue belum siap secara materi? Iya bisa jadi itu salah satu alasannya. Tapi gue rasa alasan itu saja tidak cukup kuat buat menahan gue untuk segera menikah. Hahaha… kesannya gue udah kebelet banget ya. Siapa yang tidak coba? Beberapa bulan lalu gue mendampingi teman gue yang mukanya stress berat mempersiapkan pernikahannya. Tapi setelah menikah, gue lihat mukanya berubah menjadi muka orang yang paling bahagia di dunia ini.

Malam ini gue sadar kenapa. Menikah itu bukan perkara membalikkan telapak tangan. Banyak yang harus dipertimbangkan. Banyak yang harus dipersiapkan. Ini bukan masalah lebih cepat lebih baik. Ini keputusan sekali seumur hidup. Jadi sebaliknya, lebih lama lebih baik. Lebih lama yang dimaksud adalah pernikahan yang dijalani nantinya bisa bertahan bahkan bukan hanya sekedar lebih lama tetapi selamanya. David Mathis, editor buku Preparing for Marriage mencatat, “Pernikahan itu perkara besar. Apa yang sedang kamu pertimbangkan atau persiapkan ini bukan hal sepele. Jangan pikir, kamu bisa begitu saja menambahkan pernikahan sebagai lapisan baru atas hidupmu yang sudah sibuk itu. Pernikahan menuntut awal baru yang sepenuhnya. Mengevaluasi kembali komitmenmu, cek prioritasmu, memikirkan kembali kondisi normalmu.” Dan saat ini hal-hal itulah yang sedang gue lakukan.