Gue kangen
ketika dia dengan muka serius bertanya ke gue, “Pete, lo sehat?” Padahal dalam
hati dia bilang, “Kumat stress lo, Pete?” yang kemudian setelah gue melirik ke
arahnya, kami akan tertawa bersama-sama.
Pertanyaan itu
selalu dilontarkannya saat dia menyadari gue mulai melakukan hal-hal konyol lagi. Ketika sesuatu mulai mengganggu pikiran gue hingga gue tidak
tahu lagi harus berbuat apa untuk mengusir sesuatu itu dari otak gue, gue
selalu melakukan hal-hal yang sebenarnya bukan gue banget. Gue menyanyikan lagu
rock sambil teriak-teriak misalnya.
Malam ini gue
butuh dia menanyakan pertanyaan itu lagi. Hanya saja dia tidak bisa. Dia
seorang sahabat yang biasanya ada buat gue terutama di saat gue sedang butuh
dukungannya. Tapi dia tidak pernah memaksa gue untuk bergantung padanya.
Masalah gue tetap masalah gue dan gue tetap orang yang harus menyelesaikannya
sendiri, tanpanya.
Suatu kali gue
sedang sangat bersemangat karena akan melakukan paralayang untuk kali yang
pertama banget dalam hidup gue, sayangnya agen paralayangnya sudah tutup saat
gue sampai di puncak bukit. Gue heran di saat yang sama gue tidak merasa kecewa
atau sedih. Justru gue merasa lega, karena tanpa disadari dibalik semangat gue
tadi tersimpan rasa takut. Gue takut ketinggian. Gue takut memasrahkan hidup
mati gue di tangan instruktur paralayang.
Meskipun
keinginan untuk mencoba paralayang tidak terpenuhi, usaha gue mendaki bukit
tidaklah sia-sia. Pemandangan di atas sana begitu indah dan gue tidak terganggu
dengan hiruk pikuk orang-orang yang menikmatinya dengan berfoto. Sumpah,
kesepian di tengah keramaian itu bego. Tapi waktu itu gue bersamanya. Dia yang
membentengi gue dari kebegoan itu.
Ketika kami
mulai berkemas untuk pulang, agen paralayangnya mulai beroperasi lagi. Rupanya
jam operasi mereka di bagi menjadi dua sesi. Sesi pagi dan sesi sore. Tawaran
itu pun datang kembali, “Kita jadi kan paralayangnya?” katanya sambil
mengeluarkan kembali kamera kami.
Tiba-tiba gue
deg-degan. “Iyalah, jadi,” jawab gue. “Kapan lagi ada kesempatan begini?” Tanya gue dengan nada yang mantap.
“Gue tahu lo
takut.”
“Of course you
do. You know me so damn well,” gue mengumpat hanya dalam hati, yang keluar dari
mulut gue hanyalah, “Tapi gue juga pengin banget.” Kalian pasti tahu rasanya di
saat keinginan yang sudah membuncah muncul bersamaan dengan rasa takut yang
memuncak. Kasus gue kali ini. Gue selalu bersemangat mencoba hal-hal baru, tapi
gue juga fobia ketinggian. Tapi ini bukan sekedar hal baru, ini terbang bro.
Bukan terbang di dalam pesawat tapi benar-benar terbang.
why don't u upload the priceless expression? :P
BalasHapusKalo di medsos pasang ekspresi yang biasa2 ajalah :D
Hapustemen2 keren ya, pake English ups
BalasHapus